Kesadaran bahwa kematian bukanlah sebuah perpisahan tanpa ada harapan akan pertemuan, sudah lama saya pernah dengar. Dan sudah cukup lama dicoba untuk ditanamkan ke dalam tubuh dan jiwa ini. Namun, sebagaimana hakekat manusia biasa yang tidak pernah dijangkau oleh kesempurnaan, kematian istri di seusai sungkeman Idul Fitri 1997 masih saja menjadi beban duka cita yang mendalam bagi saya. Tidak semata karena kehilangan kesempatan untuk menyicil utang cinta, tidak juga karena menangis cengeng mengenang masa lalu yang indah, dan tidak juga karena sisa-sisa kemesraan masa lalu.
Duka cita itu ada, mengikuti tubuh dan jiwa ini ke mana-mana. Dalam keadaan demikian, pilihan yang saya ambil adalah mencoba menyelami kedalaman ‘sumur’ duka cita. Dan ternyata, dalam upaya untuk menyelam ke dalam sumur terakhir semampu-mampunya, ada serangkaian perjalanan pemahaman yang layak saya ceritakan ke Anda. Rupanya, duka cita tidak sejelek yang dibayangkan orang. Ia tidak hanya bisa memproduksi kesedihan dan air mata. Wajahnya juga tidak semengerikan yang dibayangkan orang-orang yang teramat takut pada kesedihan. Dalam tataran pendalaman tertentu, duka cita bisa berganti-ganti wajah. Kadang ia berwajah buruk dan menyeramkan, kadang ia berwajah cantik dan menggiurkan. Sehingga bukan wajah itu yang penting, melainkan apa makna yang hadir di balik wajah-wajah yang sering berganti.
Oleh karena wajah-wajah tadi lebih banyak terkait dengan proses yang terjadi di dalam sini, dan sedikit sekali kaitannya dengan kejadian-kejadian yang terjadi di luar sana, akan banyak manfaatnya kalau kita menyadari bungkus-bungkus diri kita yang membuat seluruh pandangan dan pendapat menjadi demikian jauh menyimpang. Dan wajah-wajah duka cita, kalau mau jujur, sebagaian besar diproduksi oleh bungkus-bungkus tadi. Dalam keadaan kita sadar akan bungkus, apa lagi bisa keluar dari bungkus, duka cita akan muncul dengan wajah yang lain sekali dibandingkan yang dibayangkan kebanyakan orang.
Mari kita mulai dengan bungkus yang pertama. Bungkus yang paling kelihatan ini bernama tubuh. Pertama kali kita melihat orang, atau mengenal siapapun, kita akan lihat tubuhnya. Demikian juga ketika kita pertama kali mengenal diri sendiri. Diri ini ya tubuh ini. Demikianlah kira-kira anak-anak, dan juga sebagian orang dewasa menyebut dirinya. Siapa saja yang mengidentikkan dirinya dengan tubuh, ia hidup dalam jangkauan sang maut. Duka cita memiliki wajah yang amat mengerikan. Dan yang paling penting, mudah sekali terasing dalam tubuhnya sendiri.
Tanda-tanda orang yang mengidentikkan dirinya dengan tubuh disamping dilihat dari pengertiannya tentang diri, juga terlihat jelas pada ketergantungannya yang mendalam pada pemuasan panca indera. Hampir semua energi kehidupan terkuras habis untuk memuaskan panca indera. Nah inilah jenis manusia yang amat disukai oleh duka cita yang berwajah amat mengerikan.
Bungkus kedua bernama pikiran. Bila saya mengemukakan bahwa Anda bukanlah tubuh Anda, lebih mudah untuk dimengerti. Namun, saya mengalami kesulitan untuk menerangkan ke sejumlah orang bahwa kita bukanlah pikiran kita. Sebab, pikiran sebagian besar adalah hasil reproduksi kejadian-kejadian masa lalu. Mengkerangkakan, itulah hobi berat mahluk yang bernama pikiran. Membuat ukuran-ukuran dalam kerangka, kemudian mengukur orang dan kejadia dengan kerangka tadi. Kalau cocok, orang dan kejadian itu membahagiakan. Kalau tidak cocok, orang dan kejadian itu mencelakakan.
Sebut saja orang-orang yang tidak cocok, berkelahi atau malah berperang dengan orang lain. Ini tidaklah lebih dari kumpulan manusia yang menjadi korban-korbannya pikiran. Dan sejarah manusia, sebagian adalah sejarah yang diperkosa oleh pikiran. Bedanya dengan tubuh, ia adalah bungkus yang lebih mudah untuk dilepas. Namun pikiran, ia hampir menyatu dengan sang diri.
Bungkus ketiga dan terakhir adalah ego atau keakuan. Semua orang memiliki bungkus ini. Dari orang biasa, kaum bijaksana, intelektual, seniman, semuanya memiliki bungkus ini. Entah itu muncul dalam bentuk nafsu untuk tampil lebih hebat, gengsi, harga diri, kesombongan dan sejumlah wajah ego lainnya. Bungkus ketiga tidak saja membuat manusia hidup dalam jangkauan sang maut, tetapi juga membuat kita berjalan dari satu tebing berjurang dalam, menuju ke tebing yang berjurang dalam lainnya.
Ketiga bungkus diri di atas, ketiga-tiganya memproduksi wajah duka cita yang amat mengerikan dan menakutkan. Bungkus tubuh membuat saya berpisah untuk selamanya dengan istri tercinta setelah kematian. Bungkus pikiran menciptakan utang-utang cinta yang tidak bisa dibayar, serta memproduksi air mata tidak ada habis-habisnya. Dan bungkus ego, ia menghasilkan protes pada hidup, kehidupan dan bahkan Tuhan. Sekali lagi, inilah rangkaian kekuatan di dalam diri kita yang memproduk wajah duka cita yang menakutkan dan mengerikan.
Sebagai manusia biasa, duka cita memang masih hadir dengan wajah menyedihkan dalam hidup saya. Apa lagi diri yang dianggap "pinter" yang dikelilingi tukang puji dan tukang maki. Akan tetapi, masih dalam proses perjuangan hidup saya untuk bisa memproduksi sebanyak mungkin duka cita yang tidak hanya berwajah ceria, tetapi juga berwajah bijak penuh dengan pengetahuan yang mencerahkan. Dan tulisan ini, adalah salah satu dari rangkaian perjalanan menuju ke sana.
Kategori
Jumat, November 20, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ruang Tamu
Puncak Selera Jiwa
Pojok Hikmah
mimpi dapat diperpanjang. tidak peduli berapa usia kita atau apa kondisi kita, karena masih ada kemungkinan belum tersentuh di dalam diri kita dan keindahan baru menunggu untuk dilahirkan. Karena Bermimpilah ! untuk esok yang indah
0 komentar:
Posting Komentar