Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Kategori

Artikel (4) Dakwah (7) Motivasi (3) Muhasabah (11) Munajah (7) Prosa (5) Puisi (18) Tarbiyah (2)

Jumat, November 20, 2009

Untukmu Qiyadahku


Ya Allah,
Rendahkanlah suaraku bagi mereka,
Perindahlah ucapanku di depan mereka.
Lunakkanlah watakku terhadap mereka dan Lembutkanlah hatiku untuk mereka.

Ya Allah,
Berilah mereka balasan yang sebaik-baiknya
Atas didikan mereka padaku dan
Pahala yang besar
Atas rasa sayang yang mereka limpahkan padaku,
Peliharalah mereka
Sebagaimana mereka memeliharaku.

Ya Allah,
Apa saja gangguan yang telah mereka rasakan,
atau kesusahan yang mereka derita karena aku,
atau hilangnya sesuatu hak mereka karena perbuatanku,
jadikanlah itu semua
Penyebab rontoknya dosa-dosa mereka,
Meningginya kedudukan mereka dan
Bertambahnya pahala kebaikan mereka dengan perkenan-Mu, ya Allah
sebab hanya Engkaulah
yang berhak membalas kejahatan dengan kebaikan berlipat ganda.

Ya Allah,
Bila magfirah-Mu telah mencapai mereka sebelumku,
Izinkanlah mereka memberi syafa'at untukku.
Tetapi jika magfirah-Mu lebih dahulu mencapai diriku,
Maka izinkahlah aku memberi syafa'at untuk mereka,

sehingga kami semua berkumpul
Bersama dengan santunan-Mu
di tempat kediaman yang dinaungi kemulian-Mu, ampunan-Mu serta
rahmat-Mu.

Sesungguhnya Engkaulah
yang memiliki Karunia Maha Agung,
serta anugerah yang tak berakhir dan
Engkaulah yang Maha Pengasih Diantara semua pengasih.

****

Mari kita kenang dosa kepada dosen kita. Siapa tahu hidup kita dirundung nestapa karena kedurhakaan kita.
Karena kita sudah menghisap darahnya, tenaganya, airmatanya, keringatnya.


Istighfar, istighfarlah
Barangsiapa yang matanya pernah sinis melihat dosennya.
Atau kata-katanya sering mengiris melukai hatinya, atau yang jarang memperdulikan dan mendoakannya.
Percayalah bahwa seorang anak yang durhaka siksanya didahulukan didunia ini.

Istighfar yang pernah mendholimi dosennya

Astaghfirullahal Adhiim…..
Astaghfirullahal Adhiim…….

ADIL< SS

Haruskah Menunggu Neraka untuk Menangis ?!



Ketika anda melakukan sebuah dosa kecil, jangan anda lihat kepada kecilnya dosa. Tapi lihatlah, kepada siapa anda berdosa? ketika anda melakukan sebuah kebaikan kecil, jangan pandang kepada kecilnya kebaikan, tapi pandanglah siapa yang telah menganugerahkan anda untuk bisa melakukannya?

Sekecil apapun dosa yang dilakukan pasti akan menjadi sebuah kegelisahan yang menghantui anda. Pasti akan menjadi duri sandungan yang akan membuat anda terluka. Akan menjadi sumber malapetaka bagi diri anda. Akan menjadi sumber murka Allah. Akan menjadi kesedihan di dunia dan di akhirat. Akan menjadi tangisan banyak orang. Setiap dosa yang anda lakukan akan menjadi tumpukan dosa yang akan menutup pintu hati dan menjadi penghalang antara anda dan kebenaran. Sayang sekali bila hati sampai mengeras. Maka tidak ada lagi yang bisa diharapkan untuk menerima nasehat dan kebaikan. Batu tidak akan pernah melebur ketika dibakar oleh api, meskipun dalam waktu lama. Semoga kita tidak ditimpa dengan qaswatul qulub (hati yg keras) seperti kerasnya batu, sulit menerima nasehat dan kebenaran, meskipun jutaan umat berkumpul menasehati.

Sadarilah setiap dosa yang dilakukan akan menjadi dosa besar, kata para ahli hikmah;
Jangan meremehkan dosa-dosa kecil, karena dari dosa-dosa kecil itu akan tercipta dosa besar. Sedikit demi sedikit akhirnya menjadi bukit, beghitu kata pepatah kita. Boleh jadi pada dosa kecil yg kita lakukan juga terdapat murka Allah.
Hal ini senada dengan sabda Rasul Saw.:
Tidak akan menjadi dosa kecil, ketika terus menerus dilakukan dosa tersebut. Dan tidak akan tetap menjadi dosa besar, ketika terus menerus dilebur dengan istigfar.

Dosa akan terus menumpuk ketika terus dilakukan. Akan kian membesar ketika terus bertekad melakukannya. Sebaliknya setiap dosa yg diupayakan untuk taubat, akan terus terkikis dan akhirnya habis. Jangan sampai tertawa melakukan dosa, takutnya Allah akan memasukkan anda ke neraka, sedangkan anda hanya bisa menangis. Hanya bisa menyesali dan menjerit minta ampun. Berupayalah untuk bisa menangis dalam ketaatan kepada Allah, agar kelak bisa memasuki surga dengan keadaan tertawa

Setiap gerak dan hembusan nafas anda pasti akan dipertanggungjawabkan, jangan sampai ada tangis di suatu hari kelak. Jangan sampai ada orang lain yang menangis ketika anda melakukan sesuatu. Jangan sampai ada jiwa yang meronta karena dosa yang anda lakukan. Abu Bakar Ra. berkata:
Telah terjadi kerusakan di darat dan di laut, yaitu daratan maksudnya adalah lisan, sedangkan laut maksudnya adalah hati. Apabila rusak lisan, maka akan menangis banyak jiwa. Dan apabila hati yang rusak, maka akan menangis para malaikat.

Ketika lisan sudah tidak terjaga lagi, maka akan banyak jiwa-jiwa meratap. Akan banyak yang terluka oleh tajamnya lisan. Akan banyak yg menjerit karena fitnah yang menyebar. Akan banyak yang merana karena ghibah yang menjalar. Ketika kebohongan merajalela, akan banyak yang menderita. Lisan tak bertulang yang jumlahnya hanya satu, tapi bisa melukai banyak orang. Ketika hati telah rusak, maka malaikat yang akan menangisi. Malaikat sangat menyayangi hati yang sudah mulai error karena riya, ujub, dan berbagai penyakit hati lainnya. Akan membuat malaikat menangisi anda. Tapi kapan saatnya anda menangisi diri ? Akankah selalu tertawa dan ketika dimasukkan ke neraka, baru menangis?


SEBERAPA JAUH DALAMNYA DUKA CITA

Kesadaran bahwa kematian bukanlah sebuah perpisahan tanpa ada harapan akan pertemuan, sudah lama saya pernah dengar. Dan sudah cukup lama dicoba untuk ditanamkan ke dalam tubuh dan jiwa ini. Namun, sebagaimana hakekat manusia biasa yang tidak pernah dijangkau oleh kesempurnaan, kematian istri di seusai sungkeman Idul Fitri 1997 masih saja menjadi beban duka cita yang mendalam bagi saya. Tidak semata karena kehilangan kesempatan untuk menyicil utang cinta, tidak juga karena menangis cengeng mengenang masa lalu yang indah, dan tidak juga karena sisa-sisa kemesraan masa lalu.

Duka cita itu ada, mengikuti tubuh dan jiwa ini ke mana-mana. Dalam keadaan demikian, pilihan yang saya ambil adalah mencoba menyelami kedalaman ‘sumur’ duka cita. Dan ternyata, dalam upaya untuk menyelam ke dalam sumur terakhir semampu-mampunya, ada serangkaian perjalanan pemahaman yang layak saya ceritakan ke Anda. Rupanya, duka cita tidak sejelek yang dibayangkan orang. Ia tidak hanya bisa memproduksi kesedihan dan air mata. Wajahnya juga tidak semengerikan yang dibayangkan orang-orang yang teramat takut pada kesedihan. Dalam tataran pendalaman tertentu, duka cita bisa berganti-ganti wajah. Kadang ia berwajah buruk dan menyeramkan, kadang ia berwajah cantik dan menggiurkan. Sehingga bukan wajah itu yang penting, melainkan apa makna yang hadir di balik wajah-wajah yang sering berganti.

Oleh karena wajah-wajah tadi lebih banyak terkait dengan proses yang terjadi di dalam sini, dan sedikit sekali kaitannya dengan kejadian-kejadian yang terjadi di luar sana, akan banyak manfaatnya kalau kita menyadari bungkus-bungkus diri kita yang membuat seluruh pandangan dan pendapat menjadi demikian jauh menyimpang. Dan wajah-wajah duka cita, kalau mau jujur, sebagaian besar diproduksi oleh bungkus-bungkus tadi. Dalam keadaan kita sadar akan bungkus, apa lagi bisa keluar dari bungkus, duka cita akan muncul dengan wajah yang lain sekali dibandingkan yang dibayangkan kebanyakan orang.

Mari kita mulai dengan bungkus yang pertama. Bungkus yang paling kelihatan ini bernama tubuh. Pertama kali kita melihat orang, atau mengenal siapapun, kita akan lihat tubuhnya. Demikian juga ketika kita pertama kali mengenal diri sendiri. Diri ini ya tubuh ini. Demikianlah kira-kira anak-anak, dan juga sebagian orang dewasa menyebut dirinya. Siapa saja yang mengidentikkan dirinya dengan tubuh, ia hidup dalam jangkauan sang maut. Duka cita memiliki wajah yang amat mengerikan. Dan yang paling penting, mudah sekali terasing dalam tubuhnya sendiri.

Tanda-tanda orang yang mengidentikkan dirinya dengan tubuh disamping dilihat dari pengertiannya tentang diri, juga terlihat jelas pada ketergantungannya yang mendalam pada pemuasan panca indera. Hampir semua energi kehidupan terkuras habis untuk memuaskan panca indera. Nah inilah jenis manusia yang amat disukai oleh duka cita yang berwajah amat mengerikan.

Bungkus kedua bernama pikiran. Bila saya mengemukakan bahwa Anda bukanlah tubuh Anda, lebih mudah untuk dimengerti. Namun, saya mengalami kesulitan untuk menerangkan ke sejumlah orang bahwa kita bukanlah pikiran kita. Sebab, pikiran sebagian besar adalah hasil reproduksi kejadian-kejadian masa lalu. Mengkerangkakan, itulah hobi berat mahluk yang bernama pikiran. Membuat ukuran-ukuran dalam kerangka, kemudian mengukur orang dan kejadia dengan kerangka tadi. Kalau cocok, orang dan kejadian itu membahagiakan. Kalau tidak cocok, orang dan kejadian itu mencelakakan.

Sebut saja orang-orang yang tidak cocok, berkelahi atau malah berperang dengan orang lain. Ini tidaklah lebih dari kumpulan manusia yang menjadi korban-korbannya pikiran. Dan sejarah manusia, sebagian adalah sejarah yang diperkosa oleh pikiran. Bedanya dengan tubuh, ia adalah bungkus yang lebih mudah untuk dilepas. Namun pikiran, ia hampir menyatu dengan sang diri.

Bungkus ketiga dan terakhir adalah ego atau keakuan. Semua orang memiliki bungkus ini. Dari orang biasa, kaum bijaksana, intelektual, seniman, semuanya memiliki bungkus ini. Entah itu muncul dalam bentuk nafsu untuk tampil lebih hebat, gengsi, harga diri, kesombongan dan sejumlah wajah ego lainnya. Bungkus ketiga tidak saja membuat manusia hidup dalam jangkauan sang maut, tetapi juga membuat kita berjalan dari satu tebing berjurang dalam, menuju ke tebing yang berjurang dalam lainnya.

Ketiga bungkus diri di atas, ketiga-tiganya memproduksi wajah duka cita yang amat mengerikan dan menakutkan. Bungkus tubuh membuat saya berpisah untuk selamanya dengan istri tercinta setelah kematian. Bungkus pikiran menciptakan utang-utang cinta yang tidak bisa dibayar, serta memproduksi air mata tidak ada habis-habisnya. Dan bungkus ego, ia menghasilkan protes pada hidup, kehidupan dan bahkan Tuhan. Sekali lagi, inilah rangkaian kekuatan di dalam diri kita yang memproduk wajah duka cita yang menakutkan dan mengerikan.

Sebagai manusia biasa, duka cita memang masih hadir dengan wajah menyedihkan dalam hidup saya. Apa lagi diri yang dianggap "pinter" yang dikelilingi tukang puji dan tukang maki. Akan tetapi, masih dalam proses perjuangan hidup saya untuk bisa memproduksi sebanyak mungkin duka cita yang tidak hanya berwajah ceria, tetapi juga berwajah bijak penuh dengan pengetahuan yang mencerahkan. Dan tulisan ini, adalah salah satu dari rangkaian perjalanan menuju ke sana.

Ruang Tamu


Tinggalkan Pesan Terbaikmu

Puncak Selera Jiwa

Pojok Hikmah

mimpi dapat diperpanjang. tidak peduli berapa usia kita atau apa kondisi kita, karena masih ada kemungkinan belum tersentuh di dalam diri kita dan keindahan baru menunggu untuk dilahirkan. Karena Bermimpilah ! untuk esok yang indah