Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Kategori

Artikel (4) Dakwah (7) Motivasi (3) Muhasabah (11) Munajah (7) Prosa (5) Puisi (18) Tarbiyah (2)

Sabtu, Maret 20, 2010

Penghormatan untuk Istriku



Lima menit berlalu, kami masih terdiam. Aku tahu pasti jika Ummi, istriku sedang marah. Dia memang tidak mengucapkan kata-kata dengan nada yang keras. Namun, dari intonasi dan gaya bicaranya yang tidak biasa, aku bisa memahami kalau hatinya sedang tidak berkenan dengan perbuatanku. Setahun lebih menikah telah membuatku paham dengan kebiasaannya. Ummi menghela nafas, tanda amarahnya telah berkurang. Kuberanikan diri untuk bicara,
”Sudah selesai, ummi?” tanyaku pelan. Dia menjawab dengan anggukan.
”Abi minta maaf, Abi tidak sengaja. Tadi malam Abi lembur mengerjakan tugas dari Kampus sehingga tadi sehabis shalat dluha Abi tertidur dan Biun ketika hujan sudah lebat, jadi tidak sempat menyelamatkan jemuran yang telah kamu cuci. Sekali lagi Abi minta maaf, biar nanti jemurannya Abi cuci kembali”. Mendengar penjelasanku amarah Ummi menjadi reda. Dia kemudian duduk mengambil posisi di hadapanku. Ini hari minggu, kami libur mengajar. Tadi setelah selesai mencuci pakaian, Ummi pergi belanja ke pasar.
Sejak menikah hingga saat ini, kami hidup dalam kesederhanaan. Rumah kami masih mengontrak, namun kami tetap bersyukur masih punya tempat untuk berteduh dari panas dan hujan. Kami memutuskan untuk menikah setelah lulus kuliah tanpa melalui proses pacaran. Persamaan kami adalah kami anti pacaran. Waktu itu kami belum mendapat pekerjaan, hanya kepercayaan atas rezeki dari Allah lah yang membuat kami berani untuk menikah. Alhamdulillah, saat ini kami telah menjadi guru meski cuma guru swasta; aku di SMP sedang dia di Madrasah Aliyah. Kami sepakat untuk selalu bersama dalam berjuang menggapai cita-cita dalam segala keadaan. Aku mencintainya dan dia pun mencintaiku.
”Bi, Ummi boleh tanya?” suaranya memecah keheningan yang kembali terjadi sesaat.
”Ada apa Mi?” sahutku.
”Kenapa sih Abi tidak pernah marah sama Ummi? Ummi sendiri merasa kalau selama ini Ummi belum bisa menjadi istri yang baik, sering membuat Abi kecewa, sering marah-marah; tapi kenapa Abi selalu sabar dengan sikap Ummi yang seperti ini?”. Mendengar pertanyaan Ummi, aku terdiam. Aku jadi teringat sebuah kisah yang terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Khottob ra. Saat itu ada seorang sahabat yang hendak melaporkan kelakuan istrinya yang kasar terhadapnya kepada Khalifah Umar. Dia ingin mendapatkan saran dari beliau dalam menghadapi istrinya. Lalu pergilah sahabat tersebut menuju rumah (benar rumah, bukan istana) Khalifah Umar. Ketika sampai di depan rumah Khalifah Umar dia berhenti. Sahabat itu mendengar dari luar jika Khalifah Umar sedang dimarahi oleh istri beliau, sedangkan beliau hanya diam. Sahabat itu lalu berfikir, ”Kalau Khalifah Umar saja diam saat dimarahi istri beliau, apa yang bisa disarankan beliau untukku?”. Akhirnya dia berniat pulang dan tidak jadi meminta pendapat beliau. Selang beberapa langkah, dia dipanggil oleh Khalifah Umar,
”Wahai Fulan, engkau telah sampai di depan rumahku, mengapa engkau hendak kembali lagi?”. Mendengar pangilan Khalifah Umar, sahabat tersebut menghampiri beliau dan berkata,
”Maafkan wahai ’Amirul Mukminin, tadi aku hendak melaporkan kelakuan istriku yang kasar terhadapku. Tapi ternyata kulihat engkau diam saja ketika dimarahi istrimu, jadi kufikir apa saran yang bisa kudapat darimu?” jawab sahabat.
”Kenapa aku diam saja ketika istriku marah padaku, itu karena aku menghormatinya. Aku mengalah dan membiarkannya memarahiku karena dia telah banyak membantuku. Dia yang mengurus aku dan rumahku, mencucikan baju untukku, membuatkan roti untukku, memasak untukku, dan pekerjaan lain; sementara semua itu tidak pernah kuperintahkan padanya. Jadi sudah sepantasnya aku memuliakannya.”. jelas Khalifah Umar. Sahabat itu akhirnya mengerti dan kembali kepada istrinya dengan hati yang tenang.
”Bi, kok diam?” suara Ummi membuyarkan ingatanku. Lama dia menunggu jawabanku.
”Oh iya, maaf. Bagi Abi, kamu adalah istri yang terbaik. Abi selama ini sabar dan akan selalu berusaha bersikap sabar atas sikapmu, karena Abi ingin memuliakanmu selama di dunia. Sebab jika kita berhasil mati dalam keadaan Islam, di akhirat Abi akan mendapatkan hadiah bidadari, itu artinya Abi akan memadumu meski kamu tetap jadi istriku yang utama dan menjadi ratu dari bidadariku. Maka dari itu selama masih di dunia, Abi ingin membuatmu merasa sempurna dengan semua cintaku. Dan, Abi tidak akan menduakanmu dengan menikahi wanita lain.” Mendengar penjelasanku, Ummi tertunduk. Pelan kudengar dia terisak, setelah itu dia menghambur ke arahku. Dia berlutut dihadapanku sambil mencium tanganku. Tangisnya meledak,
”Maafkan aku, Bi….. maafkan aku.” pintanya dalam isakan.
Tanpa terasa air matakupun meleleh. Aku hanya bisa mengangguk sambil membelai rambutnya yang halus.
”Aku ingin kamu jadi bidadariku, selamanya………”

TW ( edit istilah )

0 komentar:

Ruang Tamu


Tinggalkan Pesan Terbaikmu

Puncak Selera Jiwa

Pojok Hikmah

mimpi dapat diperpanjang. tidak peduli berapa usia kita atau apa kondisi kita, karena masih ada kemungkinan belum tersentuh di dalam diri kita dan keindahan baru menunggu untuk dilahirkan. Karena Bermimpilah ! untuk esok yang indah