Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Kategori

Artikel (4) Dakwah (7) Motivasi (3) Muhasabah (11) Munajah (7) Prosa (5) Puisi (18) Tarbiyah (2)

Senin, Januari 05, 2009

Cinta di Tengah Konflik Palestina

Oleh Endah Sulwesi
Juli 1948,Musim panas di Palestina. Matahari terasa lebih terik, memanggang ribuan kepala manusia yang berbondong-bondong meninggalkan kampung halaman mereka di Ardallah menuju Jericho, kota kecil di perbatasan Palestina dan Jordania. Ardallah adalah sebuah kota yang terletak 45 kilometer di barat laut Jerusalem dan 23 kilometer sebelah timur Jaffa. Ardallah merupakan salah satu kota tujuan wisata di Palestina. Setiap musim panas, populasi penduduknya meningkat seratus persen oleh kedatangan para turis dari berbagai penjuru dunia. Penduduknya hidup rukun dan damai dalam kemajemukan agama: Islam, Kristen, dan Yahudi.

Namun, itu dahulu, setahun yang lalu sebelum kaum Zionis Yahudi masuk secara paksa dan mengusir pergi warga Palestina dari tanah air mereka sendiri.

Bermula pada tanggal 29 November 1947, ketika dunia kehilangan akal sehatnya dan menyebabkan timbulnya bencana berkepanjangan bagi negeri Palestina. Hari itu, para pemimpin dunia bersama-sama melakukan ‘bunuh diri’ massal lantaran menyetujui bersama-sama resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai pembagian Palestina. Kota suci Jerusalem dan sekitarnya menjadi wilayah dan hak internasional, dan Inggris harus mengakhiri kekuasaannya pada bulan Agustus.

Resolusi tersebut didukung tak kurang oleh tiga puluh tiga negara, tiga belas menolak, dan sepuluh abstain. Sudah pasti Amerika Serikat berdiri paling depan di antara para negara pendukung. Dengan kekuasaannya, negeri yang saat itu dipimpin oleh Presiden Truman, memaksa para sekutunya dengan cara mengancam untuk ikut memberi dukungan. Bahkan negara sebesar Prancis pun tunduk pada ancaman tersebut: tak akan mendapat bantuan luar negeri lagi jika tak mendukung rencana pembagian Palestina itu.

Dan itulah awal musibah sepanjang masa bagi warga Palestina. Rakyat yang telah mendiami tanah tersebut secara turun-temurun selama berabad-abad lampau harus menyingkir, terusir dari bumi kelahiran mereka oleh pendatang baru: kaum Yahudi Zionis.

Zionisme ialah sebuah gerakan kaum Yahudi yang hendak mendirikan kembali negara Israel. Istilah ini mula-mula dipakai oleh Nathan Birnbaum alias Matthias Acher (1864-1937), seorang budayawan Yahudi. Kata “zion” sendiri bermakna “bukit”. Bagi kaum Yahudi, Zion adalah nama sebuah bukit di Jerusalem . Sejarahnya, pasca direbutnya kota itu dari orang Jebus oleh Israel di bawah kepemimpinan Raja Daud, dibangunlah sebuah istana di atas bukit tersebut. Selanjutnya, Bukit Zion menjadi tempat ibadat sekaligus pemerintahan Yahudi. Bagi orang Israel, Zion berarti tanah air mereka pada masa Palestina kuno.

Konggres Zionisme yang pertama diadakan pada 1897. Sejak itu, Zionisme mulai turut bermain di gelanggang politik. Berkat upaya para pemimpinnya, pada 1917 berhasil membujuk Inggris untuk menandatangani Deklarasi Balfour yang menjanjikan suatu negara berkebangsaan yang berdaulat kepada orang-orang Yahudi itu. Tanah yang dijanjikan itu, sesuai keputusan Kongres Zionisme 1905, adalah Palestina dan sekitarnya.

Tiga puluh tahun kemudian (1948), terwujudlah impian orang-orang Yahudi tersebut untuk memiliki tanah air sendiri, meskipun dengan cara yang sangat terkutuk: membantai jutaan orang Palestina.

Kurang lebih demikianlah sekelumit sejarah Palestina yang tertuang dalam novel On The Hills of God ini. Entah demi pertimbangan bisnis (pasar), judul tersebut diubah menjadi My Salwa My Palestine berikut judul kecilnya (ditulis dengan huruf berukuran kecil sehingga nyaris tak terperhatikan ): Di Atas Bukit Tuhan. Judul yang sudah cukup panjang itu masih dirasa belum cukup, sehingga perlu ditambah dengan sebaris kalimat “keterangan”: “Kisah Tentang Kesetiaan Pada Tuhan, Tanah Air, Dan Kemanusiaan”.

Sejatinya, My Salwa My Palestine ini adalah sebuah fiksi sejarah. Riwayat pendudukan Israel di Palestina membingkai keseluruhan kisah dalam buku ini. Melalui tokoh Yousif Safi, pemuda berusia 18 tahun, Ibrahim Fawal memberi semacam kesaksian getir tentang perang Palestina yang tak kunjung usai hingga hari ini. Perang yang tak seimbang antara Palestina (didukung oleh Mesir, Jordania, Irak, Syiria, dan Lebanon) di satu pihak berhadap-hadapan dengan Israel (dibantu Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya) di pihak lain. Perang yang sempat membuat rakyat Palestina, selaku pihak paling menderita, meragukan keberadaan Tuhan.

“Tuhan, kalau Engkau membiarkan anak-Mu sendiri dipaku dan dilukai, kalau Engkau membiarkan ia mati di kayu salib seperti seorang penjahat, tentu Engkau akan membiarkan rumah-rumah kami terbakar. Kalau begitulah cara-Mu memperlakukan anak-Mu sendiri, lalu kepada siapa lagi orang Palestina memohon perlindungan? Engkau memperlakukan kami seakan-akan kami bukan anak-anak-Mu, seakan-akan Engkau tidak mencintai kami. Engkau memperlakukan kami tidak lebih baik dibanding raja-raja dan presiden kami memperlakukan kami….” (hlm56)

Palestina yang damai dalam sekejap telah berubah menjadi ladang pembantaian. Tercatat di antaranya pembantaian paling mengerikan di Deir Yasin yang terkenal itu. Nyaris tak ada yang selamat dalam aksi biadab tersebut. Para tentara Zionis itu bukan saja menembaki kaum prianya, tetapi juga memerkosa para wanita dan membunuh anak-anak. Menyusul kemudian, setelah Inggris hengkang pada Mei 1948, desa-desa yang lain menjadi sasaran serbuan. Termasuk Ardallah, kota kecil tempat Yousif dan kekasihnya, Salwa, tinggal.

Perihal percintaan Yousif dan Salwa bukanlah merupakan kisah utama. Hanya sepercik drama kecil pelengkap cerita sesungguhnya yang jauh lebih besar: drama (tragedi) kemanusiaan yang dipungut dari medan perang paling brutal dalam sejarah.

Membaca sejarah yang dituturkan lewat sebuah karya fiksi tentu jauh lebih menyenangkan ketimbang mengetahuinya melalui buku-buku sejarah yang “garing” dan menjemukan itu. Jika semua sejarah bangsa-bangsa di dunia ini bisa disampaikan semenarik novel-novel fiksi, alangkah asyiknya. Pelajaran sejarah di sekolah-sekolah pasti tidak akan ditinggal tidur oleh para siswa.

My Salwa My Palestine adalah novel perdana Ibrahim Fawal, pengajar film dan sastra di Birmingham Southern College dan University of Alabama. Ia pernah menjadi asisten sutradara dalam film klasik terkenal Lawrence of Arabia. Novel sulungnya ini meraih PEN-Oakland Award untuk kategori Excellent in Literature. Sebagai seorang kelahiran Ramallah, Palestina, sangat dapat dimaklumi jika Fawal banyak menampilkan sisi emosional dalam kisahnya ini. Bagian-bagian memilukan disajikan secara gamblang sehingga berhasil menyentuh rasa kemanusiaan kita. Kita percaya, hampir tak ada kisah indah tentang perang. Di manapun. Kapan pun. Perang senantiasa hanya mendatangkan kesengsaraan dan penderitaan. Seperti yang kerap kita saksikan.

Namun, hal paling mengherankan adalah mengapa orang-orang Yahudi yang pernah mengecap pahitnya sejarah menjadi ‘orang buruan’ itu kini tega berbalik menjadi bangsa yang memburu-buru bangsa lain? Andai pun itu sebuah tindakan ‘balas dendam’, mengapa harus kepada orang-orang (Arab di) Palestina?***

0 komentar:

Ruang Tamu


Tinggalkan Pesan Terbaikmu

Puncak Selera Jiwa

Pojok Hikmah

mimpi dapat diperpanjang. tidak peduli berapa usia kita atau apa kondisi kita, karena masih ada kemungkinan belum tersentuh di dalam diri kita dan keindahan baru menunggu untuk dilahirkan. Karena Bermimpilah ! untuk esok yang indah