Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Kategori

Artikel (4) Dakwah (7) Motivasi (3) Muhasabah (11) Munajah (7) Prosa (5) Puisi (18) Tarbiyah (2)

Senin, Januari 05, 2009

Seribu Cinta untuk Palestina (dari buku “Merah di Jenin”)

(salah satu cerpen dalam buku Merah di Jenin; Kado Cinta untuk Palestina)

Jazimah al-Muhyi

“Mau ke mana, De?”

“Aksi.”

“Demonstrasi apalagi?”

“Solidaritas Palestina.”

“Emangnya di Palestina ada apa?”

Ade mengikat tali sepatunya dengan lebih kuat. Mukanya terangkat.

“Israel mengepung Al-Aqsho. Mereka membantai wanita dan anak-anak tak berdaya. Di Nablus, Jenin, dan banyak tempat lagi.”

“Trus, kita mau ngapain, De? Itu kan urusan mereka. Emang dari dulu Israel dan Palestina itu kan kerjaannya perang dan perang saja. Mungkin saja dua negara itu memang ditakdirkan begitu.”

“Mbak Rora, Islam itu satu tubuh. Kali ini Israel membabi buta. Kecaman dari banyak negara tidak dihiraukan sama sekali.”

“Di mana-mana hal semacam itu kan banyak terjadi. Bahkan di negeri kita sendiri, perang saudara terus-menerus ada. Mungkin saja sudah watak orang zaman sekarang hobinya perang. Untuk apa sih buang-buang energi dengan memikirkan Palestina yang jauh dari jangkauan. Sepertinya kita ini kurang kerjaan saja.”

“Palestina milik umat Islam sedunia. Tanah wakaf itu simbol supremasi dan harga diri kaum Muslimin. Al-Aqsho pernah menjadi kiblat sholat sebelum Ka’bah. Banyak sahabat Rosululloh yang wafat dan dimakamkan di sana.”

“Tapi masalah di dalam negeri juga tak kurang banyak untuk dipikirkan, bukan? Krisis moneter, banjir, konflik SARA. Buat apa kita susah-susah….”

“Terserah apa kata mbak sajalah. Ade berangkat dulu. Assalamu’alaikum….”

Ade segera berangkat pergi. Membuka handel pintu dengan cepat, menutupnya, membuka pagar, menutupnya, lantas berjalan cepat menuju jalan raya. Melayani debat dengan Mbak Rora seringkali hanya membuang energi, sia-sia tanpa guna. Dari Ustadz Umar, Ade pernah belajar bahwa tabi’in Muhammad bin Wasi’ pernah berpesan agar menghindari memperpanjang perdebatan yang sia-sia. Karena jenis perdebatan seperti itu tidak akan mendatangkan kebaikan justru malah mengeraskan hati, mengeruhkan jiwa, mengacaukan kedamaian kalbu.

* * *

“Yahudi la’natullah!”

“Amerika la’natullah!”

“Mujahidin habiballah!”

Dengan tangan terkepal, teracung ke udara, para peserta aksi solidaritas Palestina terus mengumandangkan takbir, tahlil. Alam pun turut berduka.Angin melambatkan gerakannya. Langit cerah meredupkan panasnya. Awan-awan bergelantungan melindungi para peserta dari teriknya matahari.

Ade meneteskan air mata. Betapa biadab Israel! Bahkan biarawan-biarawati turut terbunuh. Seorang pastur asal Amerika pun ikut jadi korban. Meski itu tentu saja belum seberapa bila dibandingkan dengan jumlah korban dari rakyat Muslim Palestina yang mencapai ratusan.

Mata dunia terbuka. Paus di Vatikan Roma mulai bersuara. Negara-negara yang sebenarnya budak Amerika pun berani beramai-ramai mengeluarkan pernyataan mengutuk Israel. Kekejian bangsa kera itu memang sudah tidak bisa ditolerir lagi.

“Allohu akbar!”

Peserta aksi berteriak dengan suara penuh. Tetap semangat meski peluh berleleran membasahi wajah, mengalir di sekujur tubuh.

“Mending tidur di rumah, Dik!”

“Kasihan, cantik-cantik disuruh lari-lari panas begini. Nanti item, lho.”

Beragam komentar bersahutan terdengar saat beberapa korlap (koordinator lapangan) mengomando seluruh peserta aksi untuk berlari-lari kecil dengan tujuan agar kemacetan di jalan raya bisa diminimalisasi. Orang-orang di sepanjang jalan seperti mendapat tontonan gratis. Komentar terus mengalir. Beberapa di antaranya dibarengi dengan tawa mengejek.

Biarlah. Kebenaran harus ditegakkan! Kebenaran harus ditampakkan! Opini publik harus diluruskan. Aksi solidaritas merupakan salah satu cara. Bagaimanapun, Yahudilah yang menguasai sebagian besar pusat informasi dunia.

* * *

“Qunut nazilah di tiap sholat lima waktu kita. Semoga saudara-saudara di Palestina tetap istiqomah agar bisa meraih gelar syahid, agar khusnul khotimah. Wamakaruu wamakarallah. Wallahu khairul maakirin. Orang-orang kafir boleh saja bangga dengan makar-makar yang mereka rancang, namun Allah Yang Maha Perkasa pasti akan membalas makar-makar mereka.”

Kajian siang di kost Melati berakhir. Para muslimah yang mengikuti kajian pun bergantian mohon diri. Ade, sang mentor, melepas kepulangan adik-adik binaannya dengan senyum cerah sampai di gerbang.

“Palestina lagi, Palestina lagi. Kok ya nggak ada bosannya!”

Ade tidak merasa perlu untuk menanggapi. Dia hafal betul warna suara itu. Dengan merebahkan diri di kasur, disetelnya kaset. Tak lama berselang, mengalunlah nasyid Izzatul Islam yang menggelorakan semangat.

Mengapa kau patahkan pedangmu, hingga musuh mampu membobol bentengmu. Menjarah, menindas, dan menyiksa. Dan kita hanya diam sekadar terpana.

Ade tersentak. Ya, kenapa hanya sekadar terpana. Sungguh-sungguhkah aku tidak mampu berbuat apa-apa lagi selain do’a dan mengikuti aksi solidaritras? Batin Ade bergejolak.

Komponen-komponen dalam otaknya bekerja cepat, bersinergi untuk mengambil keputusan yang tepat. Keputusan yang dihasilkan seketika memberi komando pada organ-organ tubuh untuk bergerak.

Tangannya terampil menggunting dan mengelem kertas karton. Diambilnya spidol besar warna hitam. Dengan keseluruhan huruf kapital dia menulis, ‘DANA SOLIDARITAS MUSLIM PALESTINA’. Dipasangnya di samping televisi, ruang yang paling diminati anak-anak kost di waktu senggang atau bosan.

“Dana buat Palestina. Siapa pula yang akan menyampaikan dana itu. Aku kok nggak yakin bisa nyampai ke sana. Wartawan aja dilarang meliput, kan? Bantuan kemanusiaan dari PBB pun konon tidak bisa masuk. Wah, jangan-jangan malah buat kepentingan parpol tertentu. Lumayan kan untuk modal kampanye tahun 2004 nanti. Pantesan, getol banget mengompori segala macam aksi.”

Darah Ade serasa naik sampai ubun-ubun.

“Jangan su’udzon, Mbak Rora. Informasi yang dikuasai Yahudi boleh mengatakan apa saja. Namun, dengan pertolongan Allah, jangankan cuma orang, senjata berat pun akan masuk Palestina.”

“Benar-benar kamu sudah termakan pengaruh orang-orang sok suci, sok peduli itu, De. Hati-hati, sekarang lagi musimnya fundamentalis garis keras nyari pengikut. Habis nanti uang kamu diporotin mereka. Setelah itu….”

“Astaghfirullah, Mbak. Kenapa ngelantur begitu? Dari solidaritas Palestina kenapa disangkutpautkan sama fundamentalis. Apa hubungannya?”

“Yang perlu ditanya itu kamu. Apa hubungannya kamu sama Palestina?”

Ade berusaha mengulur kesabarannya. Entah berapa puluh kali lagi dia harus mengulang kalimat yang sama untuk mengingatkan Mbak Rora tentang urgensi ukhuwah sebagai salah satu pilar syarat bangkitnya kejayaan Islam.

“Ade cinta Palestina karena Allah. Ade akan bantu sebisa mungkin. Yahudi-Yahudi laknat itu pasti kalah, suatu saat nanti”, nada bicara Ade tegas.

“Yakin sekali ya, kamu.”

“Kenapa tidak yakin? Bukankah Allah Yang Maha Kuasa telah Mengirimkan burung-burung ababil dengan kerikil dari neraka untuk menghancurkan pasukan gajah Abrahah? Untuk apa mengaku Muslim kalau tidak yakin dengan datangnya pertolongan Allah.”

“Hebat…hebat…”, Mbak Rora bertepuk tangan. Ujung bibirnya sebelah kanan terangkat sedikit. Menyisakan garis sinis untuk dinikmati Ade.

Namun, Ade tidak menghiraukan, justru melanjutkan ucapannya.

“Islam menang adalah suatu kepastian, janji Allah pasti akan terjadi. Persoalannya, kita termasuk orang yang memperjuangkan kemenangan itu atau tidak. Atau justru kita akan menjadi orang munafik. Yang apabila datang kemenangan pada kaum Muslimin dia berkata ‘Aku bersamamu’ sedangkan jika datang kekalahan dia bilang ‘Untunglah aku tidak turut bersamamu sehingga terhindar dari celaka dan kematian’. ”

“Pintar sekali ustadzah kita berkhotbah!”

Ade tidak berniat menanggapi lagi. Adzan Asar sudah memanggil. Bergegas dia menuju kran untuk mengambil air wudhu. Mensucikan diri, mensucikan hati.

“Tidak ada kata damai untuk Israel!”

* * *

Aksi solidaritas kedua diikuti Ade. Dengan kedua tangan mengacungkan poster ‘Ariel Sharon, payah!’, Ade melangkah mantap. Jika Israel telah bertekad maju terus dengan prinsip point of no return, sejak awal perjuangan intifadha dikobarkan, seluruh mujahidin Palestina dipastikan telah menggenggam prinsip itu. Point of no return, berada pada satu titik yang tidak bisa kembali. Dasar Israel sombong, sok punya nyali! Mereka belum kenal dengan Sholahuddin Al-Ayyubi rupanya. Belum pernah mendengar kepahlawanan Muhammad Al-Fatih, sepak terjang Khalid bin Walid, kelihaian sang panglima belia Usamah bin Zaid, belum tahu kegarangan para singa Allah, Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab. Bangsa yang terkenal suka mengingkari perjanjian itu sepertinya belum pernah mendengar kisah heroik Nusaibah, keberanian Al-Khansa, keperkasaan Asma’ binti Abu Bakar. Mereka benar-benar terlalu percaya diri!

“Khaibar-khaibar ya Yahuud, ja’isyu Muhammad saufa ya’uud!“

Rasulullah yang pemaaf pun akhirnya terpaksa memberikan sanksi keras dengan mengusir seorang Yahudi atas perbuatan lancangnya membuka penutup aurat seorang muslimah di pasar.

* * *

“Bom bunuh diri . Akhirnya kok putus asa.”

“Bukan bom bunuh diri, bom syahid.”

“Apapun istilahnya, toh pada hakekatnya sama.”

“Hanya Allah yang berhak menilai segala hal yang ada di balik dada.”

“Ccck…ide gila. Mau ngirim pasukan? Sok berani betul! Bisa-bisa malah mati konyol…salah-salah malah nembakin orang Palestina sendiri. Berita apa lagi ini. Cck…cck…”

“Bila kita tidak bisa bertindak apa-apa, setidaknya jangan mencela orang-orang yang punya niatan mulia!” Ade memungut koran harian yang dibanting Mbak Rora di atas meja.

“Sebenarnya, ini bukan murni persoalan Islam-Yahudi. Paling banter politis sajalah. Yah, wajar saja kan kalau Yahudi ingin berkuasa, ingin selalu dianggap yang terbaik. Itu Cuma dampak perlawanan mereka atas ulah Hitler di masa lalu aja, kan?”

“Analisa itu tidak sepenuhnya benar, Ade kira. Apakah Hitler, si pembantai Yahudi, itu seorang Muslim? Sejarahnya, permusuhan Yahudi terhadap Islam dimulai sejak mereka tahu bahwa nabi terakhir yang mulia bukan dari bangsa mereka. Mereka sakit hati lantaran terlanjur merasa paling unggul sebagai anak Tuhan.”

“Ah, itu kan sejarah versi orang Islam. Jelaslah tiap kaum pasti ngerasa benar sendiri. Punya pikiran tuh yang luas, De, jangan sektarian, jangan sempit. Kamu sebagai mahasiswa harus bisa berpikir global, universal, bisa menghormati setiap paham yang ada di muka bumi ini. Menurutku, obsesi yang dipunyai Yahudi itu wajar aja. Apa ingin jadi yang terbaik itu satu kesalahan?”

“Tentu saja tidak jika upaya untuk mencapai keinginan itu dilakukan dengan cara-cara yang fair. Tidak dengan menginjak-injak hak orang lain, memberangus kebebasan beribadah, mengebiri martabat kemanusiaan, dan bahkan menganggap bangsa lain sebagai budak.”

“Memangnya Yahudi sudah berbuat apa?”

Ade beristighfar dalam hati. Mulai lagi, mulai lagi. Biarpun Ade sudah menjelaskan berulangkali, tak pernah bosan Mbak Rora melontarkan kalimat pertanyaan itu. Salah sendiri lebih percaya berita dari kaum fasik, musyrik, dan munafik, batin Ade kesal. Baca koran saja sukanya milih koran yang sahamnya mayoritas dikuasai oleh orang-orang sekuler!

“Israel itu hanya membela diri dari serangan teroris-teroris. Apa itu salah? Apa iya orang diserang mesti diam aja. Kita mesti jujur dong melihat realitas. Kita umat Islam jangan membabibutalah kalau bikin tuduhan. Katanya rahmatan lil’alamin!”

Stok kesabaran Ade menipis drastis. Perlu suntikan ruhiyah yang besar untuk memperkuat kembali.

“Maaf, ini sudah malam. Ade mau tidur. Takut nggak bisa bangun buat qiyamullail. Kasihan saudara-saudara di Palestina kalau untuk sekadar mendo’akan mereka pun kita tidak sempat.”

“Palestina lagi, emangnya….”

Ade menulikan telinga. Pikiran dan hatinya telah benar-benar lelah. Tak sanggup lagi menghadapi debat ala Mbak Rora. Diputuskannya untuk bersegera menuju kamar. Semoga masih ada kesempatan di esok hari untuk memekarkan bunga cinta di dada, menyebarkan wanginya kepada seluruh muslimin sedunia, harap Ade. Bunga-bunga cinta yang terus bersemi di hati. Cinta yang menyala lebih terang seiring kuatnya tekanan yang dia terima. Seribu cinta untuk bumi Allah Palestina.




0 komentar:

Ruang Tamu


Tinggalkan Pesan Terbaikmu

Puncak Selera Jiwa

Pojok Hikmah

mimpi dapat diperpanjang. tidak peduli berapa usia kita atau apa kondisi kita, karena masih ada kemungkinan belum tersentuh di dalam diri kita dan keindahan baru menunggu untuk dilahirkan. Karena Bermimpilah ! untuk esok yang indah